Selasa, 28 September 2010

Akhh biasa lakilaki [1]




Jam dua belas tepat bel berbunyi tanda berakhirnya pelajaran klas 4 SD hari ini, segerombolan anak2 berpakaian merah putih berdesakan berebut keluar seperti para napi yg bebas dr kurungan penjara, mungkin tak bisa disalahkan bila anak2 merasa jengah karena sistem pendidikan yg kuno dan kolot yg mjdikan seperti ini. Di sudut lain aku msih duduk dgn gerombolan petualang pencari anak burung yg biasa beroperasi dipersawahan desa sampai perkebunan tebu desa sebelah, “loe jadi ikut nggak ntar hbis sekolah” tanya seorang teman pdku, sedikit berfikir akupun mengiyakannya krn beberapa hari ini aku sdah bosan dgn tidur siang dan permainan mario bross dkk. di nitendo bersama adikku. “ok habis makan siang kita cabut” teriak seorng tman yg lain.

Dalam perjalanan pulang aku memutar otak, bagaimana meloloskan diri dr ritual tdur siang hari ini, krn sudah menjadi peraturan saat itu bahwa siang adalah jam tidur untuk istirahat. Setelah berganti pakaian akupun ambil nasi seadanya utk menghentikan musik keroncong didlm perutku, belum selesai sudah ada suara menampar telingaku “habis makan cepat tidur” kata ibuku. “Akhhhh kayak perempuan aja jam segini tidur” gumamku dlm hati. Selesai kuhabiskan kuletakkan piring didapur sekalian cuci tangan dan bersihkan mulut, mulai aktingku dengan pura2 masuk kamar dengan menutup pintu agak keras, setelah beberapa menit kubuka lagi dengan pelan, dengan mata bekerja agak ekstra berputar melirik ke kanan dan kekiri coba menganalisa situasi kondisi krn sdah tdk ada toleransi untuk hal ini. Setelah kuanggap ini aman, pintu terbaik dan ter-aman adalah jendela krn bisa meminimalisir suara pintu yang terbuka, dengan cepat dan sigap kumelompat dan buzzzzz lari layaknya kucing mengejar makanannya yg digondol tikus macam film Tom and Jerry.

Sampai ditempat yg sudah menjadi kesepakatan, teman2ku sdah menunggu, sambil menggerutu dia mengatakan”lama kali kau, macam ubur2 aja ga punya kaki”, timpalku “akhh cerewet, mulut kau itu seperti ju sumbing” tetanggaku yg suara mulutnya seperti mesin gilingan padi, “sudah2, ayo jalan” teman yg lain coba menetralisir keadaan. Kitapun berjalan berempat dengan semilir udara sawah yg sejuk dan pemandangan alami di kanan kiri pematang yg kita jalani, tak ada perdebatan diantara kita dikanan atau kiri yg lebih indah, toh kita satu jalur dengan tujuan yg sama tak penting utk merebutkan tafsir dari sbuah keindahan, tak berapa lama temanku sudah berada dibawah pohon mimbo, sebelah sungai yang sering kita gauli saat musim hujan tiba, macam monyet jantan yg melihat monyet betina di atas pohon, ia pun dengan tangkas menaiki pohon dengan giras tanpa sedikitpun kesulitan, “udah menetas” katanya, “berapa ekor” Tanya kawanku yg dibawah, lantas iapun menjawab dengan senyum seperti dpt nomer lotre jutaan rupiah “ada 4 ekor” , ok berarti tdk ada anak burung yg harus dibelah krn kita sudah mendpt bagian masingmasing.

Setelah kita bergantian menaiki dan melihat sarang burung, kita meneruskan perjalanan utk pencarian selanjutnya, dengan telanjang kaki kita berjalan sambil mendongak dan mengintip setiap pohon yang rimbun, siapa tahu di sana ada sarang burung lagi yang kita temukan, sampai pada perbatasan desa sebelah tak terasa matahari sdah terlalu condong ke barat, burung2 walet sudah beterbangan dibawah cahaya merah jambu dlm langit2 dunia tanda waktu sdah mulai senja, kitapun menyudahi petualangan, dengan putaran penuh 360 derajat kitapun berbalik arah kembali pulang.

Dlm perjalanan pulang pikiranku tak lepas dr sapu lidi yg beberapa hari lalu menghantam pantatku, inipun jg biasa bila melanggar ritual tdur siang dan melompat jendela tanpa sepengetahuan bapak dirumah, akhh gmn ni cara bisa terhindar dr hukuman ini, tak menghiraukan canda dan gurauan teman2ku aku masih trs berfikir, apalagi ini senja sudah mulai sekarat, badan masih kotor penuh debu berbelepotan keringat dan kaki msih terhiasi tanah liat. “Akhh gimana ini” kataku dlm hati

Stelah temanku pulang ditempat masing2, akupun berjalan sendiri tak terasa aku sudah ditepi jalan raya depan rumahku, masih dengan pikiran kalut dengan bayangan sapu lidi tentunya, diseberang kulihat teman2 sekolahku wanita berkerudung berjalan membawa juz amah yg dipegang erat dan diletakkan didada sebelah kiri, biasa habis mengaji di guru agama yg mengajar disekolahku, akupun cuman senyamsenyum, “hmm paling2 baru belajar aku sudah sampai al-qur’an walaupun msih diawal2 juz dan guruku lebih berkualitas tentunya” gumamku dlm hati saat itu, berbeda dengan teman2 sekolahku wanita yg mengaji disore hari, aku dan beberapa teman memilih hbis magrib mengaji di masjid.

Setelah mereka berlalu, kumenengok kanan kiri banyak sekali mobil dan truk lewat tak seperti sore2 sebelumnya, atau emang pikiran tersita dengan sapu lidi hingga suasana sore ini berbeda, saat kumenengok sebelah kanan kulihat truk besar yg tak terlalu kencang berjalan dan kuanggap itu hanya satu mobil, setelah menengok kekiri sepi tiada mobil akupun langsung menyeberang tentunya setelah truk itu lewat, tiba2 Bruaakkk ternyata masih ada mobil kecil dibelakang truk yg besar tadi, aku menabrak tepat dipintu tengah mobil itu, “wuaduhhhh”[bukan kata anjing yg keluar krn saat itu blum mengenal anjing] dengan tertatih kucoba merangkak menepi dan berhenti dibantalan ler [jalan] kereta api, dengan kupegang kakiku kulihat org2 berhamburan menuju tempatku berada, ditelingaku terdengar jeritan histeris ibukku, hufft jeritan inilah yg membuat pikiranku melebihi rasa sakitku….

Tanpa babibu akhirnya kudibawa di UGD rumah sakit setempat, seorang perawat cowok membersihkan lukaluka lecet dikakiku dengan alcohol, behh rasanya kaya disulut api saat kapas yg mengandung alcohol menyisir dan menyentuh luka kulitku yg terkelupas, tak tahan seperti ingin kupancal muka perawat itu, disamping masih kudengar isak tangis ibukku dan obrolan tetangga dan saudara2ku yg saling bertanya dan menceritakan kejadian disenja sekarat itu, ternyata mobil yg kutabrak adlah mobil dinas dr seorang camat. Setelah selesai kudibawa diruang inap yg keesokan harinya akan di ronsen apakah ada tulang yg retak atau patah, esoknya ternyata dikatakan dokter bedah bahwa kakiku kanan mengalami retak tulang, yang akan digif selama dualima hari. Setelah diijinkan pulang dengan senjata penyangga untuk berjalan, akhirnya akupun sampai rumah dengan keadaan pincang dengan penyangga dilengan kanan. Saudara dan tetangga sudah berkumpul dengan senyum dan sendau gurau, yang membuatku geli saat melihat wajah ibuku saat mendengar gurauan mereka “akhh biasa lakilaki”

Selasa, 07 September 2010

Ramadhan



Kutancapkan aksara di sudut masa
Berpondasi lapar berharap jejak memahat peta jalan
Sesatkan, sesatkanku menujuMu


Ramadhan,....
Andai kau batu, ajarkan diam membaca serat jagat
Mengeja warna balon balon sabun kahanan
Yang sejenak meletus pecah, membentuk ribuan lg seperti amoeba
Jadikanlah satu dan kecil saat tergenggam hati yg mulai rabun memandang


Ramadhan,…
Andai kau tumbuhan, ajarkan mengendap menunduk
Memandang muasal bawah hingga sari pati tanah
Melahap, menelan hingga raga sekecil debu tanah
Menampakkan Yang besar menjadi Satu tanpa ribuan sekutu


Ramadhan,...
Bila wajahmu samudra, ajarkanlah keteduhan
Memberikan kedalaman yg tenang walau beriak dipermukaan
Yang tak tergoyahkan bahkan dgn kincir skoci dajjal


Ramadhan,….
Jika kuberada di ghobi ataupun ditengah sahara
Sertailah gangga dan sungai nil disamping kanan kiri ini kaki
Letakkan zamzam dipangkal tenggorokan dan hati kami
Hingga panas tanpa dahaga dan selalu sejuk dalam kerontang


Duhai Pengasih,...
Bila Ramadhan ini pergi
Pahatkan dan tanamkan selalu dihati kami cinta
Berilah mata dan peta di-tiap guratan telapak kakikaki kami
Tindikkan ayat dan namamu pada telinga hati kami
Hingga tiada buta, tiada tuli, tiada bebal, tiada kebal


Sampai saat sejatinya buka hingga tiada puasa lagi

-------------------------------------------------------

28 Ramadhan